Polemik Pasal RKUHP: Kebebasan Berpendapat Kian Terpasung, Masihkah Pemerintah Ngotot Akan Membahasnya? Pelan-Pelan Suara Kita Dibungkam

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kian menuai kontroversi. Kontroversi tersebut disebabkan karena pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan RKUHP yang sempat berhenti. Kontroversi pada 2019 itu menyebabkan demo mahasiswa karena terdapat beberapa pasal yang cukup kontroversial. Hal tersebut menyebabkan Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembahasan RKUHP dan akan melanjutkan pembahasan sebelumnya.  Pada tanggal 25 Mei 2022 pemerintah melalui Kemenkumhan serta DPR RI mengadakan kembali rapat pembahasan RKUHP. Pemerintah Memberikan sinyal bahwa sinyal RKUHP bakal segera disahkan.

Beberapa pasal disorot dan dikritisi oleh sebagian masyarakat. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah pasal 218 RKUHP. Pasal ini membahas tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang paling kontroversial. Pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dinilai bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum sesuai dengan keputusan MK. Asas tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dengan tidak ada pengecualian. Pasal 218 ini coba dihidupkan kembali pada RKUHP pasal 240 dan 241.  Dalam pasal 240 RKUHP menyatakan seseorang dapat diancam pidana tiga tahun jika menghina pemerintah di media sosial. Pasal ini dapat berpotensi mengkriminalisasi siapapun yang melayangkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah atau dengan kata lain masyarakat akan kesulitan melayangkan aspirasi mereka dengan bebas. Pemerintah seolah antikritik dan kembali membangunkan masa orba. Selanjutnya pada pasal 241 RKUHP ancaman hukuman yang semula tiga tahun penjara sesuai disebutkan dalam pasal 240 RKUHP akan dinaikan menjadi empat tahun penjara. Pasal 240 dan 241 memberikan kesan bahwa posisi pemerintah sebagai subjek hukum memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan warga negara pada umumnya.

Dengan kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini , Departemen Kajian dan Aksi Strategi Himpunan Teknik Industri Universitas Brawijaya melaksanakan kajian untuk membahas keputusan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RKUHP. Melalui pembahasan ini, kami memberikan segala opini yang ada dalam benak kami terkait permasalahan ini. Kami memberikan sudut pandang kami terkait  mengapa pemerintah masih tetap mempertahankan pasal-pasal tersebut mengingat pada tahun 2019 pasal-pasal tersebut termasuk pasal yang banyak dikritisi. Sebagaimana diketahui presiden dan wakil presiden sendiri menjadi salah satu wajah negara sehingga perlu dilindungi kewibawaanya. Memang terkadang sangat mungkin ketika presiden mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kewenangannya dan mendapat penolakan dari rakyat. Hal ini menjadi biasa dalam negara demokrasi. Dari berbagai kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat yang menimbulkan penolakan dari rakyat dengan berbagai macam bentuk seperti penghinaan di media sosial. Dengan penghinaan-penghinaan tersebut dapat menyebabkan wajah dari dari dari negara itu sendiri menjadi tercemar. Tetapi di lain sisi, tidak ada parameter yang jelas mengenai penghinaan seperti apa yang dimaksudkan sehingga terlihat cenderung mengekang.

Lalu, apa ada acara lain untuk menjawab urgensi dari adanya pasal tersebut?

Indonesia adalah negara demokrasi. Sebagai sebuah negara demokrasi, mengkritik adalah sesuatu hal yang diperbolehkan selama bertujuan untuk kebaikan. Namun tentu harus dillakukan sesuai dengan koridor hukum yang ada, penuh santun dan etika serta menjaga martabat presiden dan wakil presiden . Urgensi dari adanya pasal ini agar kritik yang diberikan tidak melampaui batas dan tidak menghina secara personal. Untuk mencegah penghinaan terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan. Tentunya yang pertama adalah dengan pemberian edukasi kepada masyarakat bagaimana cara mengkritisi. Mengkritisi dapat dilakukan dengan pendapat yang membangun dan tidak menghina agar masyarakat juga tidak terlalu melampaui batas  bersosial media terutama menyangkut harkat dan martabat presiden wakil presiden.

Banyak pro kontra mengenai apakah pasal ini masih perlu untuk dipertahankan untuk ditetapkan di RKUHP. Sebagian berpendapat bahwa pasal ini masih perlu dan sebagian menjawab tidak perlu. Masing-masing pendapat tersebut memiliki alasan masing-masing. Bagi yang menjawab perlu alasan mereka karena setiap kebebasan berekspresi dan berpendapat harus ada batasan yang jelas supaya tidak melampaui batas sehingga tidak menyinggung kehormatan seseorang, tetapi sanksi dan hukumannya harus dijelaskan secara detail agar tidak ambigu dan harus ada parameter yang jelas bagaimana bentuk penghinaanya. Sedangkan untuk yang menjawab tidak perlu, alasannya karena presiden dan wakil presiden harus siap ntuk dihina. Hal tersebut adalah salah satu bentuk konsekuensi yang harus ditannggung presiden dan wakil presiden. Selain itu, pasal penghinaan yang tidak jelas sehingga dapat menjadi jebakan bagi pengkritik. Solusi yang dapat digunkan untuk memberi hukuman bagi pengkritik adalah dengan  digunakanya UU ITE jika sekirannya kritik tersebut sudah melampaui batas.

Dari beberapa pasal yang bermasalah pada RKUHP yang telah dijelaskan sebelumnya tentu akan menjadi ancaman bagi masyarakat dalam kebebasan berpendapat, kebebasan bertindak, dan dapat disalahgunakan untuk menekan, serta membungkam pihak pengkritik kepada pemerintah. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa harus lebih berhati-hati dalam menjaga perilaku dalam menggunakan media sosial untuk memberikan kritik kita. Kritik tersebut harus bisa membangun dan berbobot karena jika kita tidak menjaga tingkah laku kita dalam menkritik pemerintah tentu dapat menjadi boomerang  bagi diri kita sendiri. Kita juga harus saling mengedukasi dan berdiskusi satu dengan yang lain untuk mengawal dan menyikapi isu ini karena #SemuaBisaKena.

Daftar Pustaka

Adam, A. (2022, Juni 08). Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi, yang Problematik dari RKUHP. Retrieved Juli Senin, 2022, from https://magdalene.co/story/rkuhp-ditargetkan-sah-juli-apa-saja-yang-sudah-berubah

Argawati, U. (2020, Desember Senin). Ketentuan Kebebasan Berpendapat Dalam UUD. (L. Anjarsari, Ed.) Retrieved Juli Senin, 2022, from https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16828

detikNews. (2022, Juni Rabu). RKUHP: Hina Pemerintah di Medsos Dipenjara 4 Tahun! Retrieved Juli Senin, 2022, from https://www.detik.com/jateng/hukum-dan-kriminal/d-6128227/rkuhp-hina-pemerintah-di-medsos-dipenjara-4-tahun

KompasNews. (2022, Juni 29). Seputar Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP yang Dipastikan Tak Akan Dihapus. Retrieved Juli Senin, 2022, from https://nasional.kompas.com/read/2022/06/29/18461691/seputar-pasal-penghinaan-presiden-di-rkuhp-yang-dipastikan-tak-akan-dihapus?page=all

Kristina. (2021, September Jumat). Ini Bunyi Pembukaan UUD 1945 yang Menunjukkan Indonesia Negara Demokrasi. Retrieved Juli Senin, 2022, from https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5738322/ini-bunyi-pembukaan-uud-1945-yang-menunjukkan-indonesia-negara-demokrasi#:~:text=Indonesia%20adalah%20negara%20hukum%20sekaligus,tertuang%20dalam%20Pembukaan%20UUD%201945.

Saputra, A. (2015, Agustus 07). Soal Pasal Penghinaan Presiden, Apakah Presiden Simbol Negara? Retrieved Juli Senin, 2022, from https://news.detik.com/berita/d-2986411/soal-pasal-penghinaan-presiden-apakah-presiden-simbol-negara

Yanto, “. (2017, Oktober 1). NAGARI LAW REVIEW, 1. Retrieved Juli Senin, 2022